TIMES TANGSEL, JAKARTA – Badan Pengkajian MPR RI menilai menilai bahwa lebih dari dua dekade pasca perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, diskursus mengenai implementasi dan efektivitas konstitusi terus berkembang. Dalam hal ini meski banyak kemajuan telah dicapai, praktik ketatanegaraan masih menghadapi berbagai tantangan.
Hal itu disampaikan Ketua Badan Pengkajian MPR RI, Dr. Andreas Hugo Pareira, dalam Focus Group Discussion (FGD) Kelompok I Badan Pengkajian MPR RI, bertajuk “Kedaulatan Rakyat Dalam Perspektif Demokrasi Pancasila”, di Tangerang, Kamis (18/9/2025).
Hadir sejumlah pakar dan ahli dalam FGD tersebut di antaranya, Prof Dr. Ikrar Nusa Bhakti dan Dr. Surya Tjandra, S.H., LL.M. Selain itu juga hadir sejumlah anggota Badan Pengkajian MPR RI, di antaranya Denty Eka Widi Pratiwi, SE., M.H, Jialyka Maharani, S.I.Kom., dan Dr. Ir. Hj. Andi Yuliani Paris, M.Sc.
Andreas mempertanyakan apakah praktik kedaulatan rakyat dan demokrasi, termasuk pemilihan langsung presiden dan kepala daerah, sudah sejalan dengan nilai-nilai Pancasila, khususnya sila keempat.
Ia juga menekankan perlunya memperkuat demokrasi substansial di tengah dominasi demokrasi prosedural saat ini. Hal itu dilakukan sesuai Keputusan MPR Nomor III/MPR/2024 Tentang Rekomendasi MPR Masa Jabatan 2019-2024 dan secara khusus menugaskan kepada Badan Pengkajian untuk melakukan penelitian salah satunya melalui FGD ini.
Menjawab hal itu, seorang penanggap dari pakar ahli, Prof Dr. Ikrar Nusa Bhakti menyampaikan bahwa makna kedaulatan rakyat secara substansial, bukan sekadar slogan. Menurutnya, konsep kedaulatan rakyat tidak bisa dilepaskan dari pengalaman sejarah bangsa Indonesia yang pernah berada di bawah penjajahan.
“Keyakinan akan kedaulatan rakyat erat hubungannya dengan keyakinan akan kemerdekaan. Kalau rakyat berdaulat, itu berarti rakyat bisa melakukan apa saja untuk kepentingan bangsa dan negara,” ujar Ikrar.
Sementara itu Dr. Surya Tjandra, S.H., LL.M menyampaikan bahwa kedaulatan rakyat merupakan satu-satunya dasar yang benar bagi berdirinya sebuah negara merdeka. Ia menyebut ada lima konsep utama yang harus dipahami dalam praktik kedaulatan rakyat.
Pertama, kekuasaan itu milik rakyat. Pemerintah dibentuk dan dipertahankan berdasarkan persetujuan rakyat melalui wakil-wakilnya di DPR. Kedua, warga negara memiliki hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Ketiga, adanya akuntabilitas pemimpin, bagaimana pemimpin bertanggung jawab. Keempat, adanya kesetaraan dan hak warga negara.
“Dan kelima, semua itu berada dalam kerangka konstitusional. Ia menambahkan, kedaulatan rakyat juga menjadi dasar legitimasi demokrasi itu sendiri,” tuturnya
Ia juga menyoroti fenomena politik digital yang membentuk pola baru dalam relasi rakyat dan pemerintah. Surya merujuk pada hasil jajak pendapat Kompas pada 15 September lalu yang menunjukkan 49 persen responden kini merasa semakin berani menyuarakan kritik terhadap pemerintah.
“Kalau saya sebagai masyarakat sipil, saya senang dengan perkembangan ini. Pengalaman aksi turun ke jalan, bahkan sampai ribuan orang mengiringi pemakaman seorang ojol, Affan Kurniawan, itu tidak akan hilang begitu saja. Di era digital, semua bisa dibagikan dengan cepat, emosi lebih dominan daripada detail, dan itu mampu menggerakkan orang untuk bertindak,” ungkapnya.
Surya menilai, dinamika ini menandai masuknya Indonesia ke dalam level politik baru yang bahkan belum pernah terjadi sejak era reformasi.
Menutup diskusi, Andreas menyampaikan bahwa dari perkembangan saat ini maka diperlukan adanya redefinisi konsep rakyat dan kedaulatan rakyat dalam konteks demokrasi modern.
Fenomena politik di era digital juga kata dia, menunjukkan bahwa suara rakyat di dunia maya kini memiliki pengaruh signifikan terhadap dinamika politik dan pengambilan keputusan di dunia nyata.
Ia mencontohkan, keputusan mahasiswa membatalkan rencana demonstrasi setelah melihat potensi penunggangan isu di media sosial menunjukkan kecerdasan politik generasi muda sekaligus memperlihatkan betapa kuatnya pengaruh ruang digital.
“Kalau fenomena ini tidak kita pahami secara tepat, demokrasi kita bisa kehilangan arah. Karena itu, redefinisi makna rakyat dan kedaulatan rakyat dalam konteks demokrasi modern perlu dipertimbangkan,” ucapnya. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Kedaulatan Rakyat di Era Digital, Badan Pengkajian MPR RI Soroti Anomali Demokrasi
Pewarta | : Rochmat Shobirin |
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |